18 BUKAN
OBAT YANG MUJARAB[1][2][3]
(Hal-48) Jika
setiap interaksi melibatkan komunikasi, maka aktivitas transaksi transaksi
pesan ini ada di mana-mana (omnipresence). Nyaris tak ada aktivitas
manusia yang tak melibatkan komunikasi. Tak heran jika banyak masalah yang
biangnya adalah komunikasi. Itulah kenapa ‘miss komunikasi’ sedemikian
popular. Tapi apakah setiap masalah bisa diselesaikan dengan komunikasi? Nanti
dulu!
Memang banyak masalah yang bersumber dari kegagalan
komunikasi, mulai dari keluarga sampai negara. Juga benar, terutama di era
pencitraan (imagologi) saat ini, kalau kelihaian komunikasi banyak
menjanjikan kesuksesan. Mulai dari sales pulpen sampai kandidat presiden
mengandalkan kemampuan ini. Tapi apakah komunikasi merupakan obat mujarab (panasae)
untuk segala masalah? Belum tentu!
Komunikasi lebih merupakan piranti, bukan subtansi.
Sarana dan bukan tujuan. Karenanya, komunikasi seringkali menjadi solusi hanya
pada bagian awal saja, tidak pada bagian selanjutnya. Seorang pemimpin mungkin
memperoleh legitimasi melalui kesuksesan membangun citra pada awalnya. Tetapi
pada bagian selanjutnya adalah pembuktian janji-janji. Retorika tidak akan
menggantikan kinerja. Persuasi pada akhirnya akan tumpul tanpa prestasi.
Sejarah mencatat kehadiran orang-orang besar yang lihai
berkomunikasi. Penampilannya memikat, retorikanya memukau, mampu mempersuasi
jutaan orang. Kemampuan negosiasinya bahkan melewati batas-batas negara. Tetapi
nasibnya kemudian terbukti tak mampu diselamatkan oleh jargon-jargonnya.
Kekuasaannya justru tumbang oleh kata-katanya sendiri.
Sebagai piranti, komunikasi membantu kita dalam
interaksi. Kita bisa mengenal dan dikenal orang. Kita bisa menyampaikan dan
menangkap gagasan. Kita pun bisa (Hal-49) menyebarkan atau menyerap tata nilai melalui
komunikasi. Tetapi kualitas interaksi itu selanjutnya bergantung pada banyak
hal. Setiap orang punya masalahnya sendiri-sendiri. Masalah yang kadang
membutuhkan kehadiran orang lain. Masalah yang seringkali tidak selesai dengan
senyum dan kata-kata sopan.
Salah satu rahasia sukses komunikasi adalah peluangnya
dalam membangun impresi. Tetapi kesan hanya akan bertahan melalui tindakan.
Seperti rayuan yang ampuh menundukkan hati. Laksana puisi dan syair yang
mengaduk-aduk rasa. Tetapi hidup memiliki rasionalisasi sendiri. Kata-kata
tidak cukup mengobati rasa lapar. Nyanyian tidak serta merta memberikan rasa
aman. Menguaplah segala narasi indah, terkalahkan tuntutan hidup yang paling
asasi.
Komunikasi mirip sebuah penghantar yang menghubungkan
banyak orang. Semakin kecil hambatan semakin baik kualitas sebuah penghantar.
Begitulah logika komunikasi efektif. Tetapi koneksi antar pribadi lebih
merupakan infrastruktur kehidupan manusia secara komunal. Hidup jauh lebih
rumit dari sekadar interkoneksi. Lebih kompleks dari sekadar keterhubungan.
Karena itulah, banyak yang mulai ragu pada pepatah lama
orang Jawa: mangan ora mangan kumpul (makan tidak makan yang penting
bersama-sama). Sulit membayangkan sebuah kebersamaan sementara perut kita
lapar. Tuntutan hidup yang keras telah merubah pepatah itu menjadi ‘kumpul
ora kumpul mangan’ (bersama-sama atau tidak yang penting makan).
Inilah barangkali kenapa demokrasi banyak digugat,
setidaknya di negeri ini. Praktik demokrasi hanya mendorong riuhnya orang
berwacana, tetapi tak kunjung melahirkan kesejahteraan. Dimana-mana orang
berbicara, tetapi pada saat yang sama, di segala penjuru negeri masih banyak
yang susah mendapatkan nasi. Semua berbicara, tetapi sedikit yang bekerja. Aneh
memang, masih juga kita belum beranjak dari euforia kebebasan. Ironisnya
kebebasan itu baru dimaknai bebas bicara, apa saja.
Demokratisasi di negeri ini nampaknya tidak ada yang
mengalahkan. Tentu, tak sedikit buah positif dari fenomena ini. Orang tak lagi
takut bersuara beda. Juga banyak saluran untuk menyampaikan gagasan. Tetapi
kita berhenti pada kebebasan dan lupa bekerja. Kita lupa bahwa bukan ini tujuan
utama reformasi. Kita tak sepenuhnya sadar bahwa komunikasi bukan obat mujarab
untuk segala persoalan.
Inilah saatnya kita berintropeksi: Apa setelah
komunikasi? Setelah intekoneksi, setelah kebebasan berbicara, setelah citra
positif, setelah harmoni? Ada saatnya berbicara, ada waktunya bekerja. Setelah
komunikasi menyelesaikan banyak hambatan, giliran kemauan baik untuk
menyelesaikan masalah-masalah lainnya. Kita tentu tidak hendak menggantikan
suasana konstruktif sebuah interaksi, tetapi mengingatkan, untuk menjadikannya
sebagai modal penyelesaian agenda selanjutnya. Pada akhirnya kita berharap,
kehadiran masyarakat kominikatif akan paralel dengan munculnya masyarakat yang
sejahtera. Semoga!
(Bangkinang, Selasa, 21 April 2010, 10:00:44 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar